Di balik rimbunnya hutan Mamberamo, berdirilah sebuah honai beratap jerami, sederhana tapi hangat.
LENDURAMENEHUNG.org - Di balik rimbunnya hutan Mamberamo, berdirilah sebuah honai beratap jerami, sederhana tapi hangat. Di sana tinggal Mama Salome, perempuan tua berusia sekitar enam puluh, yang setiap hari bangun sebelum fajar untuk menyalakan api dan memasak ubi.
Wajahnya penuh keriput, tapi matanya masih tajam, menyimpan sejarah panjang tentang tanah, peperangan, dan cinta. Ia tak tahu pasti tahun kelahirannya, karena tak pernah dicatat. Yang ia tahu hanyalah bahwa sejak kecil ia sudah berjalan kaki bermil-mil mengikuti orangtuanya berpindah ladang.
Suaminya sudah lama tiada. Dulu, mereka bercocok tanam bersama, menanam keladi, pisang, dan jagung. Kini ia hidup sendiri, tapi tak pernah merasa sepi. “Hutan ini keluargaku,” katanya suatu hari kepada seorang pemuda yang datang merekam dokumenter.
Setiap minggu, Mama Salome berjalan selama dua jam ke pinggir kampung, hanya untuk mengajar anak-anak menyanyi lagu-lagu dalam bahasa ibu mereka. Ia tidak pernah duduk di bangku sekolah, tapi ia menguasai cerita rakyat, doa-doa leluhur, dan nyanyian suku dengan sempurna. Baginya, pengetahuan bukan hanya dari buku, tapi dari bumi dan langit, dari angin dan api.
“Saya bukan guru,” katanya sambil tersenyum. “Saya hanya bercerita supaya anak-anak tahu dari mana mereka datang.”
Di malam hari, saat suara hutan mulai tenang dan langit dihiasi bintang, Mama Salome duduk di depan api unggun, mengunyah pinang dan menenun noken. Tangannya lincah, meski tubuhnya mulai rapuh. Dalam tenunan itu, ia menyimpan doa untuk generasi berikutnya—agar mereka tetap mencintai tanah, bahasa, dan warisan mereka.
Suatu hari, kabar datang bahwa kampung akan dipindahkan demi pembangunan jalan besar. Banyak warga bersorak, tapi Mama Salome diam. Ia hanya berdiri menatap hutan lebat di seberang sungai.
“Saya tidak takut dengan jalan,” ujarnya, “tapi jangan biarkan jalan itu membawa lupa.”