KISAH SI SARINAH PEREMPUAN JAWA ISTRI MARSOSE DALAM PERANG ACEH
KISAH SI SARINAH PEREMPUAN JAWA ISTRI MARSOSE DALAM PERANG ACEH
Perang Aceh merupakan perang terlama dan termahal dalam sejarah Kolonial Belanda di nusantara. Menarik untuk menjawab pertanyaan ini, dalam perang selama 69 tahun di Aceh itu (1873-1942) pasti banyak kisah menarik, salah satunya tentang tawanan perang.
Referensi yang bagus untuk menjawab pertanyaan seputar itu adalah dari kalangan militer Belanda sendiri. Saya beruntung memiliki buku Letnan HA Aars yang menulis pengalaman Letnan JP Schomaker selama terlibat dalam Perang Aceh.
Salah satu yang menarik adalah kisah Sarina, perempuan Jawa yang sempat ditawan oleh pejuang Aceh. Dari ceritanya diketahui bagaimana orang Aceh memperlakukan tawanan perang.
Buku yang berjudul “Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjee” itu diterbitkan di Batavia pada tahun 1891 oleh penerbit Batavia G Kolff & Co. Dalam buku itu diceritakan, suatu pagi Sarina istri seorang serdadu Belanda berangkat dari rumahnya ke bivak (pos pasukan Belanda) untuk menjumpai suaminya yang bernama Wirodjojo, tapi di tengah jalan ia dicegat oleh sekelompok pejuang Aceh.
Ia dikira perempuan Eropa karena pakaiannya yang mencolok, lalu ia di bawa ke kamp pejuang Aceh.
“Boleh orang kira, ini perempuan bukan orang selam (Islam). Tapi dia orang Jawa betul dari Solo. Bajunya baju kurung biru, dikancing dengan kinking perak, dan sarungnya-sarung merah kembang-kembang,” jelas Schoemaker.
Orang Aceh awalnya menduga ia adalah bagian dari keluarga kompeni, Sarina akan dibunuh. Tapi salah satu dari dua belas pejuang Aceh itu melarangnya. Sarina tidak dibunuh tapi ditawan untuk diinterogasi.
Sarina ditawan dalam sebuah rumah di sekitar kamp pejuang Aceh. Dari balik dinding rumah itu, Sarina melihat puluhan pejuang Aceh sedang menyiksa beberapa serdadu Belanda yang berhasil mereka tangkap.
Sarina menceritakan penyiksaan itu kepada Letnan JP Schoemer setelah ia dibebaskan dari tawanan, karena dianggap tidak bersalah oleh pejuang Aceh.
Katanya, sampai malam penyiksaan terhadap serdadu Belanda itu masih berlanjut, seolah-olah itu telah menjadi hiburan bagi orang Aceh di sekitar kamp. Sarina melihat beberapa pria duduk mengelilingi api, ada juga perempuan dan anak-anak, sementara di bagian lain kamp orang ramai menyaksikan penyiksaan terhadap serdadu-serdadu Belanda.
Seorang serdadu Belanda tanganya diikat di sebatang pohon beringin, hidung mancung serdadu Belanda itu dipotong, kaki dan tangannya dibacok, perutnya berkali-kali ditusuk dengan tombak.
Sarina yang ketakutan menjelang tegah malam dibebaskan, karena ia terbukti bukan keluarga kompeni. Tapi, seandainya pejuang Aceh saat itu tahu bahwa Sarina ada istri seorang serdadu Belanda bernama Wirodjojo, mungkin ceritanya akan lain.
Ketika dibebaskan di tengah malam buta itu, tujuan pertama Sarina adalah mencari bivak pasukan Belanda terdekat. Dengan susah payah ia kemudian sampai ke jalan setapak, hingga kemudian terus menuju ke arah lampu benteng pertahanan Belanda.
Tapi sampai di bivak Belanda itu, seorang serdadu penjaga benteng yang sering disebut Sekilwak, dari jauh berteriak memerintahkan Sarina untuk berhenti, sambil melepaskan tembakan ke arahnya.
Pada halaman 13 bukunya Letnan JP Schoemaker mengisahkan, Sekilwak itu kemudian membuat laporan ke dalam benteng, kepada seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan “Tuan Komandan”. Ia melapor bahwa melihat seorang berandal di luar dan telah menembaknya. Berandal merupakan istilah tentara Belanda untuk para pejuang Aceh yang sering menyerang mereka.
Pagi hari dilakukanlah pemeriksaan sekeliling benteng. Pasukan patroli itu terkejut ketika menemukan seorang perempuan tergeletak terlentang di bawah pohon, mukanya yang penuh darah dan lumpur menghadap ke benteng. Tubuh Sarina diangkat dan dibawa masuk ke benteng.
Yang paling keget saat itu adalah Wirodjojo, ketika mengetahui itu adalah istrinya. Selamat dari kamp pejuang Aceh, kini perempuan itu sekarat di benteng kompeni Belanda.
Seorang dokter kemudian dipanggil untuk mengobati Sarina. Setela 14 hari ia baru sembuh dan bisa menceritakan apa yang menimpa dirinya. “Semua orang lantas dapat tahu celakanya si Sarina, dan dari itu hari si Sarina itu dipanggil perempuan Aceh.” tulis Letnan JP Schoemaker