DALU (KERAJAAN) TODO
LENDUR AME NEHUNG.COM Todo merupakan satu dari 3 Dalu besar, yang berada di barat Manggarai, yang langsung berada di bawah kontrol ‘raja naib’; dua Dalu lain ada Cibal dan Bajo. Raja naib merupakan wakil Sultan Bima yang bertempat di Reo dan Pota, Manggarai Utara. Tempo dulu, ada tiga kedaluan besar yakni Cibal, Todo dan Bajo, karena langsung berada di bawah naib.
Diantara kerajaan-kerajaan itu, kerajaan Cibal atau Nggaeng Cibal dan Adak Todo pernah terlibat dalam beberapa kali pertempuran dalam rangka memperluas teritori kekuasaan, karena meningkatnya hegemoni Dalu Todo tidak disukai oleh Dalu Cibal.
Pertempuran pertama antara Cibal dan Todo adalah pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot. Pertempuran ini dimenanagkan Cibal. Perang Rongot ini melahirkan beberapa perang:
* Perang Weol I,
* Perang Weol II dimenangkan oleh Todo sehingga batas kerajaan Todo tidak lagi di Wae Ras dekat Cancar, tetapi pergi sampai Beo Kina (North Rahong),
* Perang Bea Loli di Cibal. Dalam perang Bea Loli, Cibal kembali kalah.
* Adana Tana Dena. Karena perang Adak Tanah Dena, batas Todo-Pongkor diperluas ke Watu Jaji.
Setelah itu, Todo-Pongkor memperluas wilayah ke arah timur di Borong. Maka, terjadilah perang Adak Tana Dena. Akibat perang Adak Tanah Dena ini, batas Todo-Pongkor meluas hingga Watu Jaji.
Pada saat Todo-Pongkor konsentrasi mengikuti perang Adak Tanah Dena, pasukan Nggaeng Cibal melancarkan serangan ke pusat kekuasaan Todo-Pongkor. Saat itu, terjadi pembakaran rumah adat Todo, yang disebut tapa niang dangka ,poka niang wowang.
Konon, niang dangka saat itu tak bisa dibakar. Pasukan dari Nggaeng Cibal kemudian memperdayai seorang perempuan tua yang namanya Kembang Emas saudari dari Kraeng Mashur Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa untuk mengetahui mengapa niang dangka tidak bisa dibakar.
Perempuan tersebut kemudian memberti tahu niang dangka bisa dibakar bila bisa mengambil jimat yang ada dibubungannya. Pasukan dari Cibal pun mengambil jimat di atas bubungan.
Lalu, kemudian baru bisa membakar niang dangka tersebut. Sayangnya, mereka juga membakar perempuan yang memberitahu keberadaan jimat itu. Pasukan Cibal berusaha mengembalikan Watu Cibal yang dicaplok pada perang Weol II, namun tak bisa diangkat. Sampai sekarang Watu Todo dan Watu Cibal tertancap bersanding di kampung Todo.
Tahun 1907 Belanda masuk ke Manggarai dan hendak mendirikan pusat kekuasaan sipil di Todo. Namun, karena topografinya yang kurang baik, lalu pindah ke Puni, Ruteng. Secara resmi Belanda menaklukan Manggarai pada 1908.
Ketika Belanda mulai menguasai Manggarai, Raja Todo (1914-2924) yaitu Kraeng Tamur dipindahkan ke Puni.
Dalam perjalanan sejarahnya, awal abad ke-20, Belanda melihat Manggarai yang meliputi Wae Mokel awon (batas timur) dan Selat Sape salen (batas barat) adalah satu kesatuan yang utuh. Tidak ada lagi Cibal, tidak ada lagi Todo, tidak ada lagi Bajo, maka disebutlah Manggarai.
Karena itulah, pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Kerajaan Manggarai bentukan Belanda ini terdiri atas 38 kedaluan. Bersamaan dengan diangkatnya Raja Bagung, Belanda juga menyekolahkan Kraeng Alexander Baruk ke Manado.
Alexander Baruk adalah anak dari Kraeng Tamur, raja Todo. Tahun 1931/1932, Alexander Baruk kemabali dari sekolahnya. Lalu, kemudian diangkat menjadi raja Manggarai. Namun, karena raja Bagung masih hidup, maka keduanya tetap raja. Raja Bagung sebagai “raja bicara” sedangkan yang mengambil keputusan adalah Raja Baruk. Sehingga dulu ada istilah putus le Kraeng Wunut, bete le kraeng Belek.
Kekuasaan keduanya berakhir saat keduanya meninggal dunia. Raja Bagung meninggal 1947. Sedangkan, Raja Baruk meninggal 1949. Kemudian, keduanya diganti oleh Kraeng Langkas atau Kraeng Constantinus Ngambut, juga dari Todo, menjadi raja hingga 1958.
Saat Manggaria menjadi daerah swaparaja, Kraeng Ngambut masih memimpin Manggarai sebagai kepala daerah hingga 1960.
Sejarah wilayah Manggarai dan Dalu
Tanah Manggarai yang berada di bagian barat pulau Flores adalah sebagai hadiah dari sultan Goa kepada kesultanan Bima pada tahun 1658 M. Setelah perjanjian dengan Belanda pada tahun 1660, Manggarai berada di bawah pemerintahan Bima.
Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo.
Persaingan antara Bima dan Goa untuk mendapatkan kekuasaan atas Manggarai berlangsung hingga abad ke-19. Kerajaan- kerajaan yang ada di Nusa Tenggara Timur termasuk kerajaan yang ada di Flores pada masa sesudah tahun 1900 pada umumnya telah berubah status menjadi swapraja. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan tersebut telah kehilangan kedaulatannya sehingga nasibnya seluruhnya ditentukan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1929, Manggarai dipisahkan dari daerah Bima dan menjadi bagian dari Flores.
Dalu sebagai bawahan kerajaan dipimpin oleh seorang kraeng, yang biasanya dipanggil Kraeng Adak. Kraeng yang dianggap berjasa ini berhak memperoleh gelar Sangaji dari raja. Sementara itu adanya wau yang dominan itu maka dalam masyarakat Manggarai terdapat pelapisan sosial yang cukup jelas. Pertama adalah golongan yang menganggap dirinya bangsawan, yang biasanya memakai gelar kraeng. Kedua adalah golongan rakyat biasa yang disebut ata lahe. Golongan ketiga adalah hamba sahaya atau mendi. Tentu saja pada zaman sekarang pelapisan sosial ini sudah semakin kabur.
Tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama kerajaan Manggarai, yaitu Raja Bagung dari Pongkor.
Sistem pemerintahan Dalu
Pada tahun 1732, situasi struktur pemerintahan di Manggarai adalah perwakilan Sultan Bima di Reo, Pota, Bari dan Labuan Bajo. Dan ada tiga dalu besar yang tidak mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo:
Todo,
Cibal,
Bajo.
Dalu Todo juga membawahi tiga belas kedaluan yang lebih kecil yaitu Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Poco Leok, Torok Golo, Sita, Riwu dan Manus, namun tetap membayar upeti kepada Naib di Reo.
Dalu Cibal dan Dalu Bajo tidak membawahi dalu-dalu kecil lainnya namun juga membayar upeti kepada Naib di Reo.
Kedaluan yang mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggorang, Mburak, Lo’ok dan Lambaleda.
Sementara itu, kedaluan yang berada dalam garis koordinatif dengan Naib di Pota adalah Congkar, Biting dan Rembong.
Pada perkembangannya, daerah Manggarai terbagi dalam 38 kedaluan.
Raja Naib: merupakan wakil Sultan Bima yang bertempat di Reo dan Pota, Manggarai Utara.
Dalu: Dalu merupakan sistem pemerintahan terapan Kesultanan Bima yang terkait dengan penarikan pajak berupa budak (pajak taki mendi). Ada 3 Dalu besar, yang berada di Barat Manggarai, yang langsung berada di bawah kontrol ‘raja naib’ yakni: Cibal, Todo dan Bajo.
Kraeng Adak: Dalu sebagai bawahan kerajaan Bima dipimpin oleh seorang Kraeng, yang biasanya dipanggil Kraeng Adak.
Gelarang: Di bawah Dalu ditempatkan gelarang yang menguasai satu atau lebih wilayah tuan tanah (tu’a teno). Dalu maupun gelarang kebanyakan dipilih di antara tokoh adat. Kemudian, dalam perkembangannya menjadi gelar turun temurun.
Rumah adat Todo
Bangunan rumah adat atau niang dangka dan niang mongko di Kampung Todo, Kecamatan Satar Mese Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung Todo merupakan salah satu desa adat yang dihuni oleh para keturunan raja Todo. Kampung Todo kini menyisakan bangunan rumah adat (Niang Todo) berbentuk kerucut. Rumah adat ini menggunakan atap jerami dan beralaskan kayu. Meski sudah mengalami renovasi, bangunan ini merupakan satu-satunya sisa peninggalan sejarah dan tradisi yang kini bersanding dengan rumah-rumah modern warga sekitar.